Tuesday, February 23, 2010

Sujud Syukurku

Indahnya hidup ini kalau semua orang bisa bersyukur. Termasuk dan terutama adalah saya sendiri. Banyak obsesi, banyak keinginan-keinginan, permintaan, harapan, cita-cita, angan-angan dlsb yang terus membelenggu pikiran dan memaksa dagu terus menengadah. Kadang terasa berat sekali untuk mencoba menunduk dan melihat apa yang ada di sekililing kita yang mungkin akan sanagat membantu terwujudnya rasa syukur.
Syukur dengan semua yang sudah kita dapatkan sama sekali bukan berarti sebuah sikap pasif dan tidak mau berusaha. Namun paling tidak membantu kita untuk tidak rakus dalam dunia ini. Disebutkan bahwa pada dasarnya manusia tidak akan berhenti mencari dan mengejar obsesi dunianya sampai mulutnya dijejali tanah (mati maksudnya).
Alhamdulillah.. panjatkan selalu atas semua yang kita dapat, niscaya insyaAlloh akan terus memberi lebih. Bersyukur atas semua nikmat, rahmat, dan apapun itu.. Bahakan cobaan dan musibah sekalipun, karena semakin tinggi cobaan kita sebagai bukti bahwa Alloh telah manilai tinggi tingkat keimanan kita.
Continue Reading...

Tangan Diatas ( Alyadul Ulya )

Mensarikan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di Hadist Bukhari Kitab Zakat :152, Nabi Muhammad bersabda : "Alyadul ulya khoirun minal yadis sufla". Yang artinya bahwa " Tangan diatas itu lebih baik dari pada tangan dibawah". Pada saat itu Nabi menyindir sohabat Hakim bn Khizam yang berulang kali meminta-minta tanpa malu kepada Nabi. Dan Nabi Muhammad dengan sifat rokhim-nya selalu memberi apa yang diminta oleh Hakim. Hingga suatu saat Nabi menegur dan mmberi nasihat, bahwa sebenarnya yang namanya harta itu hijau dan manis, maka barang siapa yang mengambil (menggunakan) harta dengan leganya hati, maka harta itu akan membarokahkan.

Sebaliknya bila memcari harta dengan rakusnya diri, maka harta itu tidak dibarokahkan sebagaimana orang yang makan namun tidak pernah merasa kenyang. Mendengar nasihat Nabi tersebut, Hakim pun berjanji sejak saat itu pula tidak akan meminta-minta lagi kepada siapapun sampai mati. Dan ternyata janji Hakim tersebut disaksikan sendiri oleh Abu Bakar dan Umar. Hakim bn Khizam tidak pernah meminta-minta lagi, bahkan diberi harta rampasan perang sekalipun.

Demikian hadist diatas yang menjelaskan bahwa tangan diatas itu lebih baik dari tangan dibawah. Maka bersyukurlah Anda yang sudah merasa menjadi TDA. Artinya Anda sudah hidup cukup atau berkecukupan (karena tidak semua orang cukup untuk memberi), Dan artinya pula bahwa paling tidak Anda termasuk golongan yang bisa memberi (sekali lagi karena tidak semua orang bisa memberi). Sekarang yang perlu ditekankan, Apakah Anda termasuk orang yang mau memberi? (karena bisa belum berarti mau). Memberi ternyata bisa menjadi hal yang susah dan berat, dorongan untuk terus memperkaya diri dan takut miskin menjadi salah satu sebab kenapa orang enggan memberi. Orang seperti itu tidak menyadari bahwa sebenarnya semua yang kita miliki di dunia ini hanya sekedar titipan, sebenaranya semua harta milik Alloh, kecuali pakaian yang sudah usang kita pakai dan makanan yang sudah kita makan.

Saya jadi ingat lagu pengamen di Bis yang antara lain berbunyi: " Sangu mati dudu mas rojo brono, dudu sawah tegal sing ombo, nanging iman ingkang sampurno". Ya bekal akhirat bukanlah harta mas berlian, maupun tanah atau sawah yang luas, tapi amal dan iman yang sempurna.
Harta yang kita miliki semuanya tidak akan ada yang dibawa mati. Kecuali harta yang sudah disodaqohkan sebagai amal jariyah. Untuk itu sudahkan Anda untuk ber-sedekah untuk mensucikan harta Anda? Karena bila kita memakan harta kita sebelum disodaqohkan sungguh seperti kita makan ayam mentah-mentah tanpa disembelih dan dibersihkan kotorannnya dulu.

Semoga segala upaya kita untuk berhasil tidak semata-mata demi kesuksesan dan kekayaan sendiri, namun demi bisa memberi sebanyak-banyaknya. Karena bila Anda bisa sangat banyak memberi, berarti Anda juga sangat banyak menerima. Mari bersedekah.. Karena bersedekah baik untuk hati Anda..
(sumber gambar: www.achcf.org)
Continue Reading...

Senyum Dan Diam

Sebentar lagi, usia sudah mendekati kepala empat. Anak pun sudah empat. Berumah tangga sudah empat kuadrat alias 16 tahun. Banyak hal dan banyak pencapaian yang sudah saya dapatkan dalam kurun waktu itu. Dengan rasa syukur yang mendalam, kiranya inilah karunia terindah yang dianugerahkan Allah kepada saya. Tak berbanding dan tak tertandingi. Alhamdulillah, tak ada yang pantas terucap kecuali pujian itu. Tinggal bagaimana mengelolanya sehingga nikmat itu menjadi berkembang dan berdaya guna keberadaannya. Tidak hilang, tidak rusak, namun justru mengembang, berbuah, berbarokah. Netepi dalil lain syakartum – la’azidannakum.
Maka tatkala, saya ketemu dengan para yunior yang sekarang punya kedudukan dan posisi kunci, dengan kehidupan yang mapan, godaan mulai berdatangan. Obrolan pun berkembang pada arti hidup. Masih banyak orang yang mengukur pencapaian hidup dengan sebuah kedudukan. Makin tinggi kedudukan berarti semakin sukses. Semakin bermartabat, semakin berkelas. Mereka sering berkata, “Wah, seharusnya Mas ini sudah jadi manager. Apalagi usia sudah hampir kepala empat.” Menanggapi hal itu saya hanya tersenyum dan diam saja.

Lain lagi, godaan yang datang ketika saya ketemu dengan para senior. Secara tidak sengaja bincang – bincang pun mengarah pada ukuran kesuksesan hidup. Lain dengan para yunior yang masih banyak berlagak, para senior ini lebih bermutu, biasanya mereka bicara kesuksesan dari berbagai pandangan. Sebagian ada yang meneropong dari jenjang pendidikan. Secara tak sengaja mereka berseloroh, “Sudah rampung belum S3-nya?” Dengan polos dan lugunya, pernyataan itu saya balas dengan senyum dan diam saja.

Sebagian lagi ada yang memandang kesuksesan dari kaca mata kemandirian dan pemberdayaan. Mereka bilang, “Sekarang sudah usaha apa? Dan berapa orang pekerjanya?” Mendengar ucapan itu, saya pun tak kuasa, hanya tersenyum dan diam saja. Sebagain lainnya ada yang memandang kesuksesan hidup ini dari tingkat spiritualitasnya. Dengan enteng dan bangganya mereka berkata, “Sudah pergi ke Kulon belum?” Mendengar kalimat itu, saya pun hanya bisa tersenyum dan diam saja.

Lain lagi jika saya ketemu dengan para ustadz. Ketika mereka berbincang tentang al-ilmu, saya pun terdiam. Tatkala mereka bertanya, “Sudah sampai mana pencapaianmu?” Saya pun tersenyum menanggapinya. Banyak hal yang saya respon dengan senyum dan diam semata. Bukan karena mengiyakan atau menolak. Bukan pula membantah atau mendebat. Justru dengan tersenyum dan diam itulah, saya bisa melihat wajah nyata kehidupan dengan apa adanya. Semakin menenteramkan hati. Mempraktekkan panjangnya diam. Menerampilkan sodakoh senyuman. Dan menambah kedalaman syukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepada saya.

Ternyata dengan banyak senyum dan diam, semakin terkuak rahasia – rahasia hidup ini. Maksud – maksud yang tak terungkap, terkadang bisa tertangkap dengan sikap diam ini. Orang yang mau pamer, orang yang pengin dihormati, orang yang berniat baik, orang yang mau berbuat tidak baik, semua terekam dalam diam - sunyi dan senyum ini.

Pun halnya dengan diri sendiri. Dengan senyum dan diam, ternyata mampu mengobsesi diri menjadi lebih baik dan baik. Punya kekuatan dahsyat untuk berbuat baik untuk sesama dan sekitarnya. Memperbaiki diri dan terus berusaha baik selalu. Begitu elok ketika jiwa dan raga menyatu dalam kesatuan nuansa diam dan tersenyum ini. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (Rowahu Bukhory (5672), Muslim dalam bab al-Luqothoh (14), Abu Dawud (91), An-Nasa’i (401) At-Tirmidzi (809)). Dan firman Allah:”Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” An-Nisaa : 114.

Maka, saya pun malu sejatinya, jika harus menjawab setiap pertanyaan itu semua - apalagi dengan maksud mengimbangi lawan bicara. Sebab bagi saya firman Allah dalam Surat Ali Imron 139 sudah mencukupinya. Allah berfirman, “Janganlah kamu merasa hina, dan janganlah kamu bersedih hati, sejatinya kamulah orang-orang yang paling mulia, jika kamu menjadi orang-orang yang beriman.” Apalagi yang mau dicari?

Tatkala kita sudah merasa berada di puncak, kemudian sekeliling kita ramai menawarkan dan membicarakan hal – hal yang banyak, berteriak, adakalanya baik dan kebanyakan angin lalu semata, tak lain sikap yang relevan adalah memberinya senyum dan diam saja. Sebab kalau direspon tak bakal cukup waktu. Tak bakal rampung urusannya. Termasuk ketika ada yang bertanya, “Sekarang istrinya sudah berapa?” Saya pun menoleh, menatap sang penanya, kemudian tersenyum dan diam saja.

Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah

Continue Reading...

Random Post

Memuat...